Tradisi Marxisme di Nusantara

Oleh: Harsa Permata, Peneliti Marxisme

Ideologi Marxisme adalah salah satu aliran filsafat barat yang telah mewarnai ragam ideologi di Nusantara. Bisa dikatakan mayoritas pendiri negeri ini pernah mempelajari dan mempraktekkan Marxisme. Bahkan Soekarno, Proklamator, Presiden Indonesia pertama, dan penggali Pancasila, mengIndonesiakan Marxisme dengan konsep Marhaenisme-nya.

Akan tetapi pasca Pemerintahan Soekarno boleh dikata tradisi Marxisme mengalami stagnasi. Pelarangan terhadap ideologi Marxisme melalui TAP MPRS NO.XXV/1966 adalah salah satu penyebabnya. Ketidakbebasan pengkajian terhadap ideologi Marxisme, ditambah stigmatisasi negatif terhadap ideologi Marxisme, membuat tradisi Marxisme di Nusantara menjadi tidak berkembang.

Untuk itu maka kebutuhan untuk mengkaji tradisi Marxisme di Nusantara adalah penting. Dengan ini maka kita bisa melacak kembali akar sejarah dari tradisi Marxisme di Nusantara. Gunanya adalah untuk mengetahui sejarah tradisi Marxisme di Nusantara, bagaimana corak Marxisme yang diaplikasikan oleh para tokoh Marxis Nusantara, dan penyebab stagnasi tradisi Marxisme di Nusantara. Karena sedikit banyak, konsep keadilan sosial dalam sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, adalah diilhami oleh ideologi Marxisme. (more…)

Akal Minang, Menang Akal: Pergeseran Tradisi Merantau

Oleh:Qusthan AbqaryPeneliti The New Indonesia Foundation, Jakarta.

Tidak sedikit bapak bangsa yang lahir dari ranah Minang. Padahal, jumlah penduduk di Minangkabau sebelum kemerdekaan tidak lebih dari 3% dari sekitar 70 juta penduduk di wilayah nusantara. Namun, penduduk Sumatera Barat tidak pernah menuntut menjadi daerah yang istimewa karena banyak sumbangan pemikiran dan tindakan dari putra terbaik Minangkabau. Sumatera Barat justru dicederai karena PRRI yang masih debatable. Hal ini jelas terlihat dari drastisnya penurunan pemikir sosial yang memiliki latar belakang Minangkabau, khususnya pada masa dan setelah Orde Baru turun takhta. Apa yang mendorong putra terbaik Minangkabau untuk merantau dan memperjuangkan kemerdekaan, tidak hanya wilayahnya sendiri, tetapi juga seluruh wilayah nusantara?

Sebagian orang spontan mengatakan tradisi merantau, yang berlantai pada falsafah alam takambang jadi guru, merupakan kewajiban seseorang lelaki yang telah dewasa dikarenakan ia diposisikan tidak berhak terhadap harta keluarga. Asumsi ini pun keliru karena gagal membedakan antara harta pusaka (harato pusako) dengan harta pencahariaan (harato pancahariaan) yang diperoleh orangtua tanpa melibatkan harta pusaka. (more…)

Masa Depan Mistisisme Merapi

Oleh:H. Ragil Suryo RaharjoRelawan Merapi, Pengamat Mistisisme Islam Kejawen, Tinggal di Ngaglik Sleman

Keberadaan Gunung Merapi memang selalu membawa cerita tersendiri bagi siapapun yang pernah melihatnya. Setelah Merapi mengalami erupsi dan membawa duka bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, istilah mistis tak jauh dibicarakan darinya. Sehingga wacana tentang mistisisme Merapi ikut ramai dibicarakan oleh masyarakat, tidak hanya masyarakat Yogyakarta tetapi juga sejumlah masyarakat di negeri ini. Media massa yang kental dengan pemberitaan politik dan korupsi pun, seakan hanyut oleh nuansa mistis yang ditimbulkan oleh Merapi. Tak banyak juga yang menuai kontroversi atau perdebatan mengenai mistisisme itu. Adanya campurtangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dimediasi oleh berbagai pemberitaan, pembicara Merapi seolah tak lengkap jika tidak dibuntuti mistisnya. Jika demikian, bagaimana masa depan mistisime Merapi setelah dilanda duka akibat erupsi? (more…)

Menjadi Indonesia (Resensi Buku)

Oleh: Ahmad Romawi Yunani, Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Judul: Menjadi Indonesia : 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara | Editor: Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF | Penerbit: Penerbit Mizan, Jakarta | Cetakan: Oktober, 2006 | Halaman: xxvi+902 halaman

Mengingat sejarah Nusantara dengan memposisikan 13 abad eksistensi Islam di bumi Nusantara sebagai sebuah catatan kaki saja, adalah sama saja dengan menjadi setengah manusia Indonesia. Nusantara yang kini menjadi Indonesia adalah rangkaian proses sejarah panjang, sejarah yang tak hanya berceloteh tentang kerajaan yang memiliki angkatan laut terbesar dan terkuat di Asia yaitu Kerajaan Sriwijaya, tak hanya berdongeng tentang Majapahit dan Sumpah Palapa Patih Gadjah Mada mempersatukan Nusantara, tak hanya bercerita tentang nasionalisme para pemuda yang memekikkan Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak kebangkitan nasional Indonesia, atau tak hanya bergumam tentang komunisme yang merebak di seperempat umur Indonesia sekarang yang berujung lahirnya semangat nasionalisme Pancasila. Tak hanya itu.

Untuk itulah Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF—sebagai editor—bekerjasama dengan Yayasan Festival Istiqlal menerbitkan satu buku yang bercerita tentang sejarah eksistensi Islam di bumi Nusantara berjudul “Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Indonesia”. (more…)

Sejarah Penelitian Filsafat (Resensi Buku)

Oleh: M. Najib Yuliantoro, Peneliti Laboratorium Filsafat Nusantara UGM

RUBRIK KLINIK BUKU - Metodologi Penelitian Filsafat - Reza A.A. WattimenaJudul: Metodologi Penelitian Filsafat | Penulis: Reza A.A. Wattimena (ed.) | Penerbit: Fakultas Filsafat UGM, Penerbit Kanisius, Unika Widya Mandala | Cetakan: I, 2011 | Halaman: 254 halaman

Sabtu, Minggu, 29 dan 30 Juni 1991. Dua hari itu adalah hari bersejarah setidaknya bagi Fakultas Filsafat UGM. Pasalnya, para filsuf dan ilmuwan tersohor Indonesia berembung, membaur menjadi satu. P. Hardono Hadi, Toeti H. Noerhadi, J. Sudarminta, Anton Bakker, Amin Abdullah, Sutan Takdir Aisjahbana adalah tokoh-tokoh penting yang hadir di sana. Mereka saling aju pendapat mengenai tema “metodologi filsafat”. Satu kajian pelik dalam diskursus filsafat yang hingga kini masih menyimpan problema.

Betapa tidak. Bicara “apa itu filsafat” saja sudah mengurat saraf. Apalagi ditambah “metodologi”. “Filsafat” adalah kajian tersendiri, di mana “metodologi” sesungguhnya juga merupakan bahasan tersendiri. Di mana keduanya lantas bertemu?

Mukhtasar Syamsuddin, dalam pengantar buku “Metodologi Penelitian Filsafat”, mengajukan paparan menarik. Bahwa secara paradigmatik, “metodologi” dipahami sebagai ilmu tentang metode. Ia adalah bagian dari cabang filsafat berupa epistemologi serta filsafat ilmu pengetahuan. Tepat di dua cabang inilah kajian tentang “metodologi” menjadi bagian dari “filsafat”. Namun bagaimana cara merumuskan “metodologi filsafat” jika dalam sejarahnya para filsuf tidak pernah seirama dalam penggunaan apalagi perumusannya? (more…)

Kejahatan Korupsi: Perspektif Ethos Kerja Manusia Bugis-Makassar

Oleh: Dr. Mukhtasar Syamsuddin, Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Ketika “kejahatan” coba dirangkai dengan “korupsi”, konstruksi nalar bisa dipastikan mengarah pada bentuk penilaian afirmatif bahwa korupsi memang menjadi bagian dari kejahatan. Djoko Prakoso, dkk(1987) mengidentifikasi korupsi sebagai varian kejahatan bersifat laten yang potensial merugikan dan membahayakan negara, sebagaimana tindak pidana penyelundupan, subversi, dan narkotika. Ia identik dengan ancaman terhadap rule of law, keadilan dan kemanusiaan. Lalu apa gunanya afirmasi jika korupsi sedikitpun tidak pernah dan bahkan tidak mungkin mewartakan kebajikan? Bukankah korupsi sudah jelas dan meyakinkan merupakan perbuatan tercela dari penyakit masyarakat?

Dalam konteks hukum dan perkara tindak pidana, korupsi digolongkan sebagai white collar crime, suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa dan kedudukan tinggi dalam masyarakat sehubungan dengan tugas/pekerjaannya. Jadi, perbedaan antara kejahatan korupsi dengan kejahatan lainnya hanyalah terletak pada tingkat sosial ekonomi atau pendidikan pribadi pelakunya. (more…)

Makna Filosofis dalam Permainan Tradisional Anak di Jawa

Oleh: Dr. Iva Ariani, Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Permainan tradisional banyak terdapat di Indonesia. Namun permainan tradisional tersebut kini mulai terkikis keberadaannya, khususnya di kota besar. Untuk anak sekarang ini barangkali banyak yang tidak kenal permainan tradisional, warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia.

Permainan tradisional semakin tidak populer sejak munculnya permainan baru yang lebih atraktif, membuat anak lebih senang karena lebih praktis dan menarik. Sebagai contoh, merebaknya PlayStation (PS) yang merupakan produk dari Jepang. Tentu, dengan banyaknya permainan elektronik maupun non-elektronik menarik yang ada dipasaran di Indonesia, sedikit demi sedikit keberadaan permainan tradisional semakin tersisihkan.

Permainan tradisional anak pada kenyataannya bisa dijadikan media pembelajaran dan pendidikan yang sangat luar biasa. Teori dalam filsafat pendidikan mengatakan bahwa dalam proses pendidikan terjadi interaksi antara pendidikan dan anak didik untuk bersama-sama mencapai tujuan pendidikan, yaitu kedewasaan. Dalam interaksi tersebut akan terjadi suatu rentetan perbuatan pendidikan. Apabila perbuatan tersebut disengaja untuk mencapai tujuan pendidikan maka disebut sebagai alat pendidikan. Langeveld (1965: 116) mengatakan bahwa suatu alat pendidikan hanyalah suatu tindakan/perbuatan atau situasi, yang dengan sengaja menciptakan alat pendidikan. (more…)

Nilai Feminis dalam Legenda Danau Toba

Oleh: Abd. Rokhmat Sairah Z., S.Fil., M.Phil., Kepala Laboratorium Filsafat Nusantara UGM

Salah satu fenomena alam yang cukup menarik perhatian dan minat wisatawan terhadap Nusantara adalah Danau Toba di Sumatera Utara. Fenomena alam di wilayah ini menyimpan banyak pesona. Pesona yang dimiliki tidak hanya secara fisik, melainkan juga berupa makna dan kandungan filosofis yang mengakar pada kebudayaan suku pendukungnya. Berbagai legenda dan dongeng pun ikut menambah daya tarik bagi wisatawan dalam memenuhi hasrat ingin tahu mereka.

Suku pendukung kebudayaan legenda Danau Toba pun cukup terkenal di penjuru Nusantara. Orang Batak sangat kental dengan kekerabatannya. Tidak hanya itu, setiap orang Batak pasti memiliki marga, begitu pula dengan orang luar suku Batak yang menikah dengan penduduk suku Batak, akan mendapat marga sesuai dengan marga suku Batak. Dengan demikian, apabila banyak suku Batak menikah dengan selain suku Batak, maka akan terjadi ‘Bataknisasi’. Hal ini mencerminkan kekuatan budaya suku Batak yang resisten terhadap berbagai pengaruh globalisasi pada masa kini. (more…)

Filsafat Nusantara: Gagasan Awal Membangun Metodologi Filsafat Indonesia

Oleh: Sindung Tjahyadi, Pendidik di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Mengembangkan Filsafat Nusantara merupakan tantangan. Sebutan “Filsafat Nusantara” saja sudah mengundang perdebatan. Mengapa kok bukan “Filsafat Indonesia”? Kalau yang dimaksud dengan “Filsafat Nusantara” adalah kajian pemikiran-pemikiran filosofis atas peradaban dan budaya yang terbentang dari Madagaskar hingga gugusan pulau di tepi barat Pasifik, adakah relevansinya bagi ke-Indonesia-an saat ini?

Jika yang dimaksud dengan “Filsafat Nusantara” adalah suatu sistem pemikiran yang sejajar secara kategoris dengan “Filsafat Barat”, apakah “Filsafat Nusantara” yang dimaksud sungguh-sungguh ada? Adakah sesungguhnya yang dimaksud dengan “Filsafat Nusantara” adalah sebuah “proyek” dalam arti sebuah kerangka kerja penelitian dan pengkajian filsafat dalam rangka membangun dan mensistematisasi suatu “filsafat baru”?

Lontaran gagasan pada forum ini tidak memiliki pretensi untuk menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan di atas, namun lebih sebagai berbagi celetukan dan rerasan terkait gambaran dan harapan tentang Filsafat Nusantara. Titik tinjauan yang digunakan adalah perspektif metodologis, dengan sebuah pertanyaan “sederhana”: metodologi penelitian filsafat nusantara itu seperti apa? Adakah secara metodologis memiliki problematika yang berbeda dengan penelitian filsafat yang lain?

Titik Berangkat Metodologis

Suatu kajian dinyatakan sebagai sebuah kajian filosofis tentu memiliki syarat-syarat tertentu. Yang paling pokok tentunya adalah sudut tinjauan (objek formal) yang filosofis, yakni mengkaji dimensi-dimensi konseptual dasariah terkait dengan segala sesuatu, baik terkait dengan realitas, pengetahuan, dan nilai.

Ilmu-ilmu dan kajian humaniora lain tentu juga hendak mengkaji segala dimensi kehidupan manusia, namun kajian filsafat dibedakan dengan yang lain terkait dengan pendekatannya yang berupa analisis konseptual yang radikal. Ciri ini pula yang menjadikan filsafat sebagai sebuah usaha rasional dari umat manusia, ciri yang membedakan sekaligus dengan pemahaman mitologis, mistis, atau pun kosmogonis.

Namun tidak tepat pula jika filsafat dipahami sebagai dunia yang terpisah samasekali dengan hal mistis, mitologis, atau pun kosmogonis, mengingat hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai objek material kajian filsafat sebagaimana aspek-aspek realitas lainnya.

Garis tipis inilah yang sering merancukan pemahaman awam tentang apa “filsafat” itu, dan akibatnya sering dijumbuhkan dengan “klenik”, “paranormal”, dan “dunia lain”. Sekali lagi, filsafat adalah usaha rasional yang telah melahirkan tradisi keilmuan yang sekarang telah berkembang demikian pesat, bukan penjelasan njlimet yang tak ada ujung pangkalnya tentang kehidupan.

Pangkal dari tradisi panjang filsafat sebagaimana kita kenal sekarang adalah tradisi filsafat Barat yang berjangkar pada filsafat Yunani. Pangkal tradisi itu pulalah yang kemudian melahirkan berbagai tradisi akademik filsafat yang akhirnya menyebar di berbagai penjuru dunia. Tradisi yang dicirikan dengan corak pemikiran yang berjarak dengan objeknya.

Namun demikian, di bawah dominasi tradisi Barat, sesungguhnya terdapat pangkal tradisi filsafat yang lain, yakni tradisi filsafat Timur, dengan filsafat Cina dan filsafat India yang memiliki akar historis seusia filsafat Yunani.

Bila corak pemikiran filsafat Barat cenderung mengambil jarak dengan objeknya (transendensi), maka corak filsafat Timur cenderung tak berjarak atau menyatu dengan objeknya (imanensi).

Walau dewasa ini dunia relatif sudah terbangun dalam dialog terbuka antar tradisi Barat dan Timur, namun ujung dari dua pangkal tradisi tersebut ternyata tetap melahirkan konsekuensi metodologis masing-masing, utamanya bila dikaitkan dengan pengembangan Filsafat Nusantara.

Model-Model yang Mungkin

Bila yang kita jadikan titik pangkal metodologis adalah tradisi filsafat Barat, maka kajian-kajian yang muncul adalah kajian dengan kerangka dan sistematika filsafat Barat untuk menyoroti “objek material” budaya Nusantara.

Dari model kurikulum yang dibangun di Indonesia, pendekatan ini paling memungkinkan, mengingat sistematika filsafat Baratlah yang digunakan dalam pendidikan filsafat di Indonesia. Bahkan kerangka filsafat sistematik Barat sudah “mendarah daging”, karena pembicaraan tentang filsafat selalu dengan menggunakan sistematika “Wolfian” dengan “trilogi” metafisika-epistemologi-aksiologi-nya.

Secara “teknis” tentu tidak terdapat problematika metodologis yang “serius” dengan model kajian ini, mengingat tinggal memakai kerangka metafisika atau epistemologi atau aksiologi untuk mengkaji budaya atau dimensi budaya Nusantara tertentu. Pisau analisisnya sudah ada dan jelas, tinggal menorehkannya pada objek materialnya. Soal luka yang timbul akibat torehan tersebut, itu merupakan soal lain. Yang penting sudah “sah” secara metodologis.

Banyak sekali model kajian semacam ini, misal: Metafisika Wayang, Epistemologi  Kawruh Sejati, Estetika Batik, Etika Golong Gilig, dan lain sebagainya. Sekali lagi, kajian model ini “sah” dan “tidak bermasalah” secara metodologis, dengan asumsi bahwa budaya Nusantara dengan segala aspeknya adalah “bangunan objektif” yang dapat ditelaah dengan cara dan pendekatan apa pun.

Lain soal jika kita berpegang pada asumsi bahwa “budaya Nusantara” merupakan “bangunan yang hidup dan otentik” yang memiliki asumsi-asumsi dasarnya sendiri tentang kenyataan dengan seluruh aspeknya. Bila yang dipegang adalah asumsi bahwa “budaya Nusantara” adalah budaya yang unik dan otentik, maka pendekatan model pertama ini merupakan “kolonisasi” terhadap pemikiran filsafat Timur, khususnya filsafat Nusantara. Lantas adakah jalan lain?

Titik pangkal metodologis yang lain adalah “meninjau filsafat Nusantara secara filsafat Nusantara”. Pada perspektif ini “Nusantara” tidak hanya menjadi objek material belaka, namun “Nusantara” sudah menjadi genetivus subjectivus, sudah menjadi kerangka dan pijakan pandang dalam mengkaji realitas. Apakah ini mungkin? Jawabnya: sangat, sangat, sangat mungkin.

Sudah saatnya mungkin kita tak terlalu menengok ke Barat terus-menerus. Tradisi filsafat Cina (sebelum jaman Marxis-Komunis), dan tradisi Filsafat India (sebelum penjajahan Inggris) dapat dijadikan model. Pada dua tradisi besar tersebut bangunan pemikiran filsafat sungguh dibangun secara otentik dan khas yang secara sistematis dapat ditelusuri mana pangkal dan ujungnya. Kedua tradisi tersebut dapat kuat bangunan sistematikanya bukan dengan mengadopsi sistematika filsafat Barat, namun berangkat dari realitas kehidupan bangsa mereka sendiri sebagaimana terekam dalam tradisi tulis dan lisan.

Bila kita secara sungguh-sungguh berusaha dan ditopang dengan kurikulum yang memadai, upaya “sistematisasi pemikiran filosofis” yang berangkat dari tradisi tulis atau pun lisan yang terekam dan hidup dalam kebudayaan Nusantara, bukanlah hal yang mustahil. Ketika kita sudah terlalu tenggelam dengan pola pemikiran Barat, nyatanya kita terseret tanpa ampun kepada ujung disorientasi nilai. Tradisi pemikiran kita kemudian menjadi sosok tak berbentuk, “Barat tidak sampai”, namun juga telah “kehilangan ke-Timur-annya”.

Langkah-Langkah Ke Depan

Proyek ke depan untuk mewujudkan kajian Filsafat Nusantara yang menempatkan “Nusantara” sebagai genetivus subjectivus tentu mengadaikan komitmen dan usaha berbagai pihak. Filsafat harus didekatkan dan bergumul lebih intensif dengan berbagai tradisi tulis dan lisan dari berbagai budaya di Nusantara.

Niat itu mengandaikan kompetensi filologis yang memadai, atau bekerjasama dengan berbagai disiplin ilmu terkait. Tanpa upaya tersebut kajian Filsafat Nusantara akan cenderung mengambil bentuk kajian filsafat dengan “Nusantara” hanya sebagai genetivus objectivus, walau tentu pilihan ini juga bukan pilihan buruk asal asumsi-asumsi yang menyertainya juga diterima.

Pilihan ada pada kita semua. Ujung jalan arah pengembangan Filsafat Nusantara juga ditentukan oleh jalan yang dipilih sekarang. Monggo… Hari yang kelihatannya masih panjang, dapat tiba-tiba terlihat pendek bilamana kita telah sampai di ujung jalan.

*Artikel ini terbit dalam Lafinus Newsletter Edisi 5, Oktober 2011.