Oleh: Sindung Tjahyadi, Pendidik di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Mengembangkan Filsafat Nusantara merupakan tantangan. Sebutan “Filsafat Nusantara” saja sudah mengundang perdebatan. Mengapa kok bukan “Filsafat Indonesia”? Kalau yang dimaksud dengan “Filsafat Nusantara” adalah kajian pemikiran-pemikiran filosofis atas peradaban dan budaya yang terbentang dari Madagaskar hingga gugusan pulau di tepi barat Pasifik, adakah relevansinya bagi ke-Indonesia-an saat ini?
Jika yang dimaksud dengan “Filsafat Nusantara” adalah suatu sistem pemikiran yang sejajar secara kategoris dengan “Filsafat Barat”, apakah “Filsafat Nusantara” yang dimaksud sungguh-sungguh ada? Adakah sesungguhnya yang dimaksud dengan “Filsafat Nusantara” adalah sebuah “proyek” dalam arti sebuah kerangka kerja penelitian dan pengkajian filsafat dalam rangka membangun dan mensistematisasi suatu “filsafat baru”?
Lontaran gagasan pada forum ini tidak memiliki pretensi untuk menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan di atas, namun lebih sebagai berbagi celetukan dan rerasan terkait gambaran dan harapan tentang Filsafat Nusantara. Titik tinjauan yang digunakan adalah perspektif metodologis, dengan sebuah pertanyaan “sederhana”: metodologi penelitian filsafat nusantara itu seperti apa? Adakah secara metodologis memiliki problematika yang berbeda dengan penelitian filsafat yang lain?
Titik Berangkat Metodologis
Suatu kajian dinyatakan sebagai sebuah kajian filosofis tentu memiliki syarat-syarat tertentu. Yang paling pokok tentunya adalah sudut tinjauan (objek formal) yang filosofis, yakni mengkaji dimensi-dimensi konseptual dasariah terkait dengan segala sesuatu, baik terkait dengan realitas, pengetahuan, dan nilai.
Ilmu-ilmu dan kajian humaniora lain tentu juga hendak mengkaji segala dimensi kehidupan manusia, namun kajian filsafat dibedakan dengan yang lain terkait dengan pendekatannya yang berupa analisis konseptual yang radikal. Ciri ini pula yang menjadikan filsafat sebagai sebuah usaha rasional dari umat manusia, ciri yang membedakan sekaligus dengan pemahaman mitologis, mistis, atau pun kosmogonis.
Namun tidak tepat pula jika filsafat dipahami sebagai dunia yang terpisah samasekali dengan hal mistis, mitologis, atau pun kosmogonis, mengingat hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai objek material kajian filsafat sebagaimana aspek-aspek realitas lainnya.
Garis tipis inilah yang sering merancukan pemahaman awam tentang apa “filsafat” itu, dan akibatnya sering dijumbuhkan dengan “klenik”, “paranormal”, dan “dunia lain”. Sekali lagi, filsafat adalah usaha rasional yang telah melahirkan tradisi keilmuan yang sekarang telah berkembang demikian pesat, bukan penjelasan njlimet yang tak ada ujung pangkalnya tentang kehidupan.
Pangkal dari tradisi panjang filsafat sebagaimana kita kenal sekarang adalah tradisi filsafat Barat yang berjangkar pada filsafat Yunani. Pangkal tradisi itu pulalah yang kemudian melahirkan berbagai tradisi akademik filsafat yang akhirnya menyebar di berbagai penjuru dunia. Tradisi yang dicirikan dengan corak pemikiran yang berjarak dengan objeknya.
Namun demikian, di bawah dominasi tradisi Barat, sesungguhnya terdapat pangkal tradisi filsafat yang lain, yakni tradisi filsafat Timur, dengan filsafat Cina dan filsafat India yang memiliki akar historis seusia filsafat Yunani.
Bila corak pemikiran filsafat Barat cenderung mengambil jarak dengan objeknya (transendensi), maka corak filsafat Timur cenderung tak berjarak atau menyatu dengan objeknya (imanensi).
Walau dewasa ini dunia relatif sudah terbangun dalam dialog terbuka antar tradisi Barat dan Timur, namun ujung dari dua pangkal tradisi tersebut ternyata tetap melahirkan konsekuensi metodologis masing-masing, utamanya bila dikaitkan dengan pengembangan Filsafat Nusantara.
Model-Model yang Mungkin
Bila yang kita jadikan titik pangkal metodologis adalah tradisi filsafat Barat, maka kajian-kajian yang muncul adalah kajian dengan kerangka dan sistematika filsafat Barat untuk menyoroti “objek material” budaya Nusantara.
Dari model kurikulum yang dibangun di Indonesia, pendekatan ini paling memungkinkan, mengingat sistematika filsafat Baratlah yang digunakan dalam pendidikan filsafat di Indonesia. Bahkan kerangka filsafat sistematik Barat sudah “mendarah daging”, karena pembicaraan tentang filsafat selalu dengan menggunakan sistematika “Wolfian” dengan “trilogi” metafisika-epistemologi-aksiologi-nya.
Secara “teknis” tentu tidak terdapat problematika metodologis yang “serius” dengan model kajian ini, mengingat tinggal memakai kerangka metafisika atau epistemologi atau aksiologi untuk mengkaji budaya atau dimensi budaya Nusantara tertentu. Pisau analisisnya sudah ada dan jelas, tinggal menorehkannya pada objek materialnya. Soal luka yang timbul akibat torehan tersebut, itu merupakan soal lain. Yang penting sudah “sah” secara metodologis.
Banyak sekali model kajian semacam ini, misal: Metafisika Wayang, Epistemologi Kawruh Sejati, Estetika Batik, Etika Golong Gilig, dan lain sebagainya. Sekali lagi, kajian model ini “sah” dan “tidak bermasalah” secara metodologis, dengan asumsi bahwa budaya Nusantara dengan segala aspeknya adalah “bangunan objektif” yang dapat ditelaah dengan cara dan pendekatan apa pun.
Lain soal jika kita berpegang pada asumsi bahwa “budaya Nusantara” merupakan “bangunan yang hidup dan otentik” yang memiliki asumsi-asumsi dasarnya sendiri tentang kenyataan dengan seluruh aspeknya. Bila yang dipegang adalah asumsi bahwa “budaya Nusantara” adalah budaya yang unik dan otentik, maka pendekatan model pertama ini merupakan “kolonisasi” terhadap pemikiran filsafat Timur, khususnya filsafat Nusantara. Lantas adakah jalan lain?
Titik pangkal metodologis yang lain adalah “meninjau filsafat Nusantara secara filsafat Nusantara”. Pada perspektif ini “Nusantara” tidak hanya menjadi objek material belaka, namun “Nusantara” sudah menjadi genetivus subjectivus, sudah menjadi kerangka dan pijakan pandang dalam mengkaji realitas. Apakah ini mungkin? Jawabnya: sangat, sangat, sangat mungkin.
Sudah saatnya mungkin kita tak terlalu menengok ke Barat terus-menerus. Tradisi filsafat Cina (sebelum jaman Marxis-Komunis), dan tradisi Filsafat India (sebelum penjajahan Inggris) dapat dijadikan model. Pada dua tradisi besar tersebut bangunan pemikiran filsafat sungguh dibangun secara otentik dan khas yang secara sistematis dapat ditelusuri mana pangkal dan ujungnya. Kedua tradisi tersebut dapat kuat bangunan sistematikanya bukan dengan mengadopsi sistematika filsafat Barat, namun berangkat dari realitas kehidupan bangsa mereka sendiri sebagaimana terekam dalam tradisi tulis dan lisan.
Bila kita secara sungguh-sungguh berusaha dan ditopang dengan kurikulum yang memadai, upaya “sistematisasi pemikiran filosofis” yang berangkat dari tradisi tulis atau pun lisan yang terekam dan hidup dalam kebudayaan Nusantara, bukanlah hal yang mustahil. Ketika kita sudah terlalu tenggelam dengan pola pemikiran Barat, nyatanya kita terseret tanpa ampun kepada ujung disorientasi nilai. Tradisi pemikiran kita kemudian menjadi sosok tak berbentuk, “Barat tidak sampai”, namun juga telah “kehilangan ke-Timur-annya”.
Langkah-Langkah Ke Depan
Proyek ke depan untuk mewujudkan kajian Filsafat Nusantara yang menempatkan “Nusantara” sebagai genetivus subjectivus tentu mengadaikan komitmen dan usaha berbagai pihak. Filsafat harus didekatkan dan bergumul lebih intensif dengan berbagai tradisi tulis dan lisan dari berbagai budaya di Nusantara.
Niat itu mengandaikan kompetensi filologis yang memadai, atau bekerjasama dengan berbagai disiplin ilmu terkait. Tanpa upaya tersebut kajian Filsafat Nusantara akan cenderung mengambil bentuk kajian filsafat dengan “Nusantara” hanya sebagai genetivus objectivus, walau tentu pilihan ini juga bukan pilihan buruk asal asumsi-asumsi yang menyertainya juga diterima.
Pilihan ada pada kita semua. Ujung jalan arah pengembangan Filsafat Nusantara juga ditentukan oleh jalan yang dipilih sekarang. Monggo… Hari yang kelihatannya masih panjang, dapat tiba-tiba terlihat pendek bilamana kita telah sampai di ujung jalan.
*Artikel ini terbit dalam Lafinus Newsletter Edisi 5, Oktober 2011.